Genjot Ekspor SBW, Kementan Lengkapi Karantina Uji Standar dengan Alat Canggih

Foto Berita

Jakarta - Semenjak dibukanya jalur ekspor langsung ke Tiongkok, komoditas Sarang Burung Walet (SBW)  di tahun 2015 hingga kini tren jumlah ekspornya terus meningkat signifikan. Tercatat dari data sistem otomasi karantina pertanian, IQFAST jumlah ekspor di awal 700 ton di tahun 2015 dan terus meningkat hingga di tahun 2018 tercatat 1.135,6 ton. "Ini harus kita jaga, agar SBW kita dapat terus unggul dan masuk pasar dunia, salah satunya dengan jaminan kesehatan dan keamanan dari otoritas Karantina sesuai persyaratan ekspor," kata Sriyanto, Kepala BBUSKP diruang kerjanya di Jakarta, Selasa (23/7).

Sriyanto menjelaskan untuk menjaga kualitas komoditas ekspor yang digemari masyarakat Tiongkok karena khasiat dan manfaatnya bagi kesehatan ini, Kementan melalui BBUSKP menyiapkan perlengkapan laborarorium yang canggih,  Inductively Coupled Plasma Mass Spektrometri (ICP-MS). "Alat ini sangat membantu kami dalam memberikan sertifikat kesehatan hewan, health certificate bagi SBW. Selain kapasitas yang lebih besar, juga akurasinya tinggi dalam mendeteksi logam berat atau LB, " jelas Sriyanto.

Sebelumnya, pengujian LB pada SBW menggunakan Atomic Absorben Spektrophotometri (AAS) dan dengan beralih menggunakan ICP-MS ini lama pengujian yang membutuhkan waktu hingga 1 minggu dengan kapasitas 20 sampel pengujian kini cukup hanya 1 hari saja. Juga alat uji ini memiliki kapasitas hingga 180 sampel dengan 72 unsur target dalam sekali pengujian dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi sehingga mendukung keakuratan hasil uji.

Kepala Bidang Layanan Pengujian, Risma Silitonga saat menggelar Workshop Deteksi Logam Berat Pb, Cd dan As pada sampel SBW dengan menggunakan ICP-MS pada tanggal  17 hingga 19 Juli 2019 yang lalu menyebutkan bahwa alat uji ini sangat membantu, selain dari sisi waktu juga akurasinya. Hal ini sangat perlu dilakukan guna mengantisipasi meningkatnya jumlah pengujian sampel SBW yang diuji untuk kepentingan ekspor ke Tiongkok.

Berdasarkan data sistem informasi laboratorium (SILA-Qu) di unit kerjanya, sejak Januari hingga Juni 2019 ini tercatat ada 141 permohonan dengan jumlah sampel mencapai 1.400 tiap bulannya.

Risma menyebutkan sebagai unit kerja teknis di bawah Badan Karantina Pertanian, BBUSKP merupakan satu-satunya laboratorium di Indonesia yang diakui pemerintah Tiongkok untuk melakukan pengujian laboratorik terhadap komoditas SBW. Uji yang merupakan prasyarat masuk ke Negeri Tirai Bambu ini mencakup  ruang lingkup pengujian kandungan LB, nitrit, cemaran mikroba serta deteksi virus flu burung (Avian Influenza). Dari ke-4 pengujian tersebut, kandungan LB yang sangat memerlukan dukungan dengan tingkat spesifitas, sensitifitas serta kuantitas uji yang tinggi pula.

BBUSKP mendapatkan pengakuan sebagai otoritas lab satu-satunya ini setelah menjalani audit yang cukup panjang terkait sistem manajemen, fasilitas laboratorium, maupun kesiapan sumber daya manusia (SDM). Dan kini, beberapa negara Eropa dan Amerika juga mempersyaratkan hal tersebut, tambah Risma bangga.

Workshop yang dihadiri oleh fungsional Pengawas Hasil Mutu Pertanian (PMHP), Medik Veteriner, Paramedik Veteriner, Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan dan jajaran struktural Karantina Uji Standar serta Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Badan Karantina Pertanian ini menghadirkan Dr. Mohamad Rafi, selaku akademisi FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Peningkatan kapabilitas laboratorium baik dari segi alat maupun SDM merupakan bentuk dukungan teknis Kementan guna menggenjot ekspor komoditas unggul pertanian. "Kemajuan teknologi yang dibarengi dengan kesiapan SDM Pertanian menjadi modal dasar menyongsong cita-cita kita bersama menjadikan  Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia  di tahun 2045," pungkas Sriyanto.

 

Narasumber :

  1. drh Sriyanto, Ph.D - Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian
  2. Dr. drh JP Risma Silitonga - Kepala Bidang Layanan Pengujian, BBUSKP, Barantan, Kementan