Bogor – Indonesia menyampaikan pentingnya Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) atau Pest Risk Analysis (PRA), sebagai bentuk mitigasi risiko dalam perdagangan pangan dan komoditas pertanian. Hal demikian salah satu kesepakatan dalam The 27th Expert Working Group on The Harmonizations of Phytosanitary Measures (EWGPS) atau Forum Kelompok Kerja Ahli dalam Harmonisasi Tindakan Fitosanitari Ke-27 tingkat ASEAN (Association of Southeast Asian Nations).

Ketua sidang EWGPS Ke-27 yang sekaligus Direktur Manajamen Risiko Badan Karantina Indonesia (Barantin), Aprida Cristin, menekankan pentingnya pertemuan EWGPS untuk melanjutkan upaya kolektif negara anggota ASEAN (ASEAN Member States/AMS), dalam memastikan pangan dan perdagangan produk pertanian yang sehat dan aman.

“Forum ini penting untuk memastikan pangan dan perdagangan produk pertanian, khususnya untuk tumbuhan, di kawasan ASEAN, sehat dan aman. Melalui forum ini, diharapkan dapat tercapai sistem pertanian-pangan yang tangguh di ASEAN. Salah satunya melalui PRA ini, sebagai upaya awal mitigasi risiko sebelum pemasukan komoditas ke suatu negara,” ujar Aprida di Bogor, Selasa (8/7).

Pembahasan harmonisasi tindakan fitosanitari ini untuk mendukung kelancaran arus perdagangan komoditas pangan dan pertanian di regional ASEAN, dengan tetap mengedepankan sistem pertahanan hayati melalui penerapan biosekuriti demi menjaga kelestarian sumber daya alam hayati di masing-masing negara ASEAN.

Delegasi Indonesia menyampaikan perlunya Sekretariat ASEAN untuk mengompilasi PRA yang telah diadopsi dalam pertemuan EWGPS sebelumnya, sehingga dapat menjadi referensi yang cepat untuk AMS. “Indonesia mengusulkan kepada Sekretariat ASEAN mengompilasi seluruh PRA yang telah diadopsi sebelumnya dan membagikannya kepada AMS untuk dapat diakses dan menjadi referensi dengan cepat,” kata Ketua Delegasi Indonesia, Ratih Rahayu, Ketua Tim Kerja Ekspor dan Antar Area pada Direktorat Tindakan Karantina Tumbuhan.

Isu aktual lainnya yang menjadi agenda pembahasan harmonisasi persyaratan fitosanitari impor tanaman, yakni forum menyetujui bahwa lalat buah Bactrocera correcta menjadi OPT karantina (OPTK) di regional ASEAN. Seluruh AMS menyetujui saran Indonesia kepada Thailand untuk segera menyelesaikan draf PRA dan Pedoman Fitosanitari Intra-ASEAN untuk impor buah lengkeng (konsumsi) dengan tetap mempertahankan lalat buah tersebut sebagai OPTK sehingga diperlukan tindakan karantina untuk mitigasi risikonya. Selain itu, Malaysia akan menyampaikan secara resmi kepada CABI mengenai permintaan untuk penghapusan negara Malaysia dari daftar area distribusi B. correcta, berdasarkan penelitan dan hasil pemantauannya.

Aprida menyebutkan, pertemuan EWGPS ini juga menyepakati hasil penilaian berdasarkan kriteria pemilihan komoditas untuk menyusun draf PRA dan Pedoman Fitosanitari Intra-ASEAN untuk impor cabai segar. Brunei Darussalam akan memimpin penyusunan PRA dan draf pedoman yang akan disampaikan kepada AMS melalui Sekretariat ASEAN pada 26 April 2026, menjadi bahan diskusi dalam Pertemuan EWGPS Ke-28 di Laos pada 2026 mendatang.

Pertemuan juga mencatat draf laporan finalisasi implementasi rencana aksi ASEAN untuk pengendalian hama ulat grayak atau Fall Amry Worm (FAW) periode 2020-2025, dalam manajemen risiko hama lintas batas negara. Forum delegasi ini sepakat untuk mengembangkan standar perlakuan ASEAN untuk fumigasi fosfin (padat) sebagai perlakuan karantina tumbuhan. Indonesia dan Filipina akan memimpin pengembangan draf tersebut melalui diskusi secara daring dengan AMS.

Indonesia Sampaikan Pentingnya AROPT dalam Mitigasi Risiko Perdagangan